You and I, Still in Love
(Oleh: Fifi Aryanti)
Cuaca yang dingin dan udara yang
sejuk di daerah pedesaan jarang sekali aku rasakan di kota tempat aku tinggal.
Tapi, berkunjung ke desa bukanlah rencana liburanku. Tidak mudahnya menghadapi
soal ujian nasional SMA saja sudah membuatku menjadi orang yang rumit
pikirannya. Karena itu, aku ingin segera melepaskan kepenatan yang sudah
meledak-ledak dalam diriku. Aku menyiapkan rencana berlibur bersama teman-teman
dan seseorang yang istimewa bagiku. Tapi, di sisi lain mamah malah menyuruhku
untuk menginap di rumah nenek di daerah pedesaan. Mempertimbangkannya saja aku
malas, apalagi menjalankannya. Bagaimana tidak, karena pilihan mamahku lah yang
memaksaku untuk menghapus sederet daftar liburan yang aku pikir akan
melemparkan segala kejenuhan.
Pagi
yang cerah, tapi tak secerah perasaanku. Hari ini waktunya aku berangkat ke
rumah nenek dengan hati yang masih berat. Sulitnya menciptakan senyuman,
setidaknya senyuman palsu untuk ku tunjukkan kalau aku senang berlibur di desa,
walaupun sebenarnya sih tidak. Aku kemas barang-barang yang akan ku bawa, aku
pun berangkat.
Setelah
menempuh perjalanan yang cukup lama, aku pun tiba. Pemandangan yang indah
dengan rerimbunan pohon dan suasana desa yang asri nan elok membuatku berpikir kembali
kalau ini tidak seburuk yang aku bayangkan. Kalau saja Aji ada di sini,
liburanku bukan hanya menyenangkan, tapi bahkan jadi lebih berwarna. Aji adalah
seseorang yang saat ini istimewa bagiku. Seseorang yang bisa membuatku
tersenyum, sekalipun disaat senyum itu sulit untuk terlukiskan.
Esoknya
aku diajak keponakanku untuk pergi ke sawah. Bisa dibilang aku bersemangat akan
ini. Saat di kota , aku jarang sekali atau mungkin tidak pernah ke sawah. Bagaimana
aku ingin pergi ke sawah kalau di kota saja jarang ada sawah. Karena saking
semangatnya, aku berjalan sangat cepat dengan tatapan yang tidak selalu
mengarah ke depan. Tiba-tiba “duk”, entah aku ditabrak atau menabrak seseorang,
lalu terjatuh. “Eh, kalo jalan tuh liat-liat dong! Lo mau cari masalah sama
gue?!”, bentaknya. Apa-apaan dia berkata seperti itu padaku? Jelas-jelas ini
salahnya. Tapi, tunggu dulu. Hah, apa? Itu kan Andre. Andre adalah teman
kecilku. Aku memang sempat tinggal di sini ketika duduk dibangku sekolah dasar.
Jika teringat masa kecilku dengannya, aku jadi senyum-senyum sendiri. Tapi,
sejak bertemu dengannya lagi hari ini dengan sikapnya yang seperti itu membuat
aku ingin menarik kata-kataku yang berbunyi: “Jika teringat masa kecilku dengannya, aku jadi senyum-senyum sendiri.”,
malah aku jadi mual dan ingin muntah. “Ya ampun nyadar diri dong! Lo kali yang
jalan ga liat-liat!”, balasku. “Oh, jadi lo Vir? Emang susah sih kalo ngomong
sama anak kecil! Udah tau salah masih aja ga mau disalahin”, ucapnya. Aku anak
kecil? Yang benar saja! Aku pergi tanpa menghiraukannya.
Menyebalkan
sekali! Memangnya dia siapa? Seenaknya saja menyalahkan orang! Kelakuannya tadi
membuatku jadi terus menggerutu. Orang yang tidak bersalah pun jadi terkena semprotan
yang seharusnya tidak keluar tanpa alasan. Malam mulai larut. Tapi, kekesalanku
belum juga larut. Beningnya
air, beningnya perasaanku. Kenapa juga harus keruh? Kalau terus emosi, hati dan
perasaanku mungkin jadi keruh. Kalau perasaanku keruh, wajah bisa saja jadi
ikutan keruh. Males banget!
Memancing
ikan ternyata cukup menguras kesabaran. Aku akui memang tidak ahli dalam hal
ini. Walaupun siang ini cukup panas, tetapi sepertinya tidak menyurutkan rasa
penasaranku untuk mendapatkan ikan, setidaknya satu saja sudah cukup. Aku
merasa bukan cuaca siang ini saja yang panas. Tapi, hatiku pun jadi panas
setelah datangnya seseorang yang sepertinya tidak senang jika tidak menghinaku.
“Hah mana bisa cewek kaya lo mancing! Mancing juga pake otak kali…”, ejek
Andre. Ergh kurasa munculnya dia dihadapanku hanya untuk satu tujuan yang tidak
lain adalah untuk mengejekku. Kalau sudah seperti ini jadinya, aku bahkan bisa
naik darah. “Ish, peduli gitu gue sama omongan lo? Bodo amat!”, balasku tidak
mau kalah. Apalagi kalau sambil makan cabai, akan terasa semakin pedas. “Oya?
Masa? Cewek kaya lo tuh jangankan mancing, masak mie aja belum tentu bisa.”,
dia menghinaku. Meladeninya membuat wajahku jadi kusut, perasaanku pun jadi
ingin terus marah-marah. Tapi jika diam saja, ini akan menjadi lebih buruk
untukku. “Eh, sok tau banget lo! Whatever deh lo mau ngomong apa!”, kataku.
Berlama-lama di tempat Andre berada
hanya akan mengundang perang. Pergi meninggalkannya, setidaknya bisa sedikit
menormalkan perasaanku secara perlahan walaupun masih ada sedikit percikan api
yang sewaktu-waktu akan membara kembali. Suasana di desa memang mendukung untuk
dijadikannya masuk ke dalam kategori “liburan yang menyenangkan”. Setidaknya
terasa biasa saja pun tidak masalah. Tapi, ini malah jadi suram.
Hari mulai berganti. Matahari yang bersinar dengan
paras indahnya dan langit yang cerah menambah semangat seseorang dalam
menjalankan aktivitasnya. Seperti aku yang semangat untuk berolahraga. Tidak
sedikitnya masalah yang muncul membuat batinku jadi tertekan. Bisa melupakannya
sejenak saja, itu sudah cukup bagiku. Karena itulah aku berlari dengan pikiran
yang terus kacau. Sampai menyebrang saja, aku tidak menyadari kalau ada mobil
yang sedang melaju dengan cepat. Tapi, seseorang telah menyelamatkanku. “Lo itu
kenapa sih? Lo ga sadar ya kalo tingkah lo itu ngerepotin orang tau ga!”, Andre
memarahiku. Bahkan saat Andre menyelamatkanku pun, sikapnya selalu saja
menyakitkan. “Denger ya, dalam hidup itu ada banyak pilihan. Saat lo mau
menyelamatkan seseorang pun lo bisa milih mau melakukannya atau engga. Dan kalo
lo merasa direpotkan akan itu, mending lo ga usah melakukannya.” kataku sambil
pergi meninggalkannya. “Lo ga tau cara berterima kasih? apa emang ga pernah
diajarin? Lagian gue itu ga butuh nasehat lo.”, ucap Andre. “Terima kasih.”, kataku,
lalu pergi.
Liburan yang menguras emosi. Setiap
habis melihatnya, aku jadi sulit untuk ramah pada orang lain. Jika harus
berlebihan, wajahku pun jadi lebih sangar, terlebih ketika sedang bertemu
dengannya. Walaupun begitu, ada Aji yang selalu membuatku merasa tenang. Herannya,
pertemuan itu malah sering terjadi. Entah kenapa, tapi aku merasa akan ada
sesuatu yang buruk terjadi.
Ini takdir atau apa? Tidak sekali atau
dua kali saja aku dipertemukan dengan Andre untuk bertengkar, sekalipun di
tempat umum. Dan itu sangat memalukan. Aku pergi ke supermarket terdekat untuk
membeli sedikit makanan ringan dan minuman. Ku lihat Andre di situ. Akan terasa
aneh jika kita bertemu tanpa masalah. “Dih ngapain lo ada di sini?”, tanya
Andre. “Apa perlu seseorang bertanya untuk apa dirinya berada di supermarket?
Kalo nanya yang berbobot dikit kek!”, celotehku. “Yayaya. Mau lo ngomong ini
kek apa kek, percuma. Lagipula lo kan bukan cewe berkelas.”, itulah kata-kata
yang keluar dari mulutnya dengan wajah yang sedang mengajak bertengkar. “Tidak
peduli seberapa rendahnya seseorang, setidaknya dia layak untuk dicintai.”,
kataku, lalu pergi meniggalkannya.
Langit
yang mendung, udara yang sejuk membuatku malas untuk bangun tidur.
Sampai-sampai nenek kesal dengan sifatku yang seperti ini. Sedari tadi suara
nenek yang menyerukan agar aku cepat bangun terus terdengar. Aku paksakan untuk
segera bangkit dari kamar tidur dengan kondisi mata yang masih “merem melek”.
Kalau saja nenek tidak memintaku untuk menemaninya ke pasar, aku malas sekali
untuk keluar rumah. Jika ditanya kenapa, Andre lah alasannya.
To be continue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar