Welcome...

Enjoy to Read... ^^

Minggu, 24 November 2013

Cerpen ~ You and I, Still in Love

You and I, Still in Love
(Oleh: Fifi Aryanti)
Cuaca yang dingin dan udara yang sejuk di daerah pedesaan jarang sekali aku rasakan di kota tempat aku tinggal. Tapi, berkunjung ke desa bukanlah rencana liburanku. Tidak mudahnya menghadapi soal ujian nasional SMA saja sudah membuatku menjadi orang yang rumit pikirannya. Karena itu, aku ingin segera melepaskan kepenatan yang sudah meledak-ledak dalam diriku. Aku menyiapkan rencana berlibur bersama teman-teman dan seseorang yang istimewa bagiku. Tapi, di sisi lain mamah malah menyuruhku untuk menginap di rumah nenek di daerah pedesaan. Mempertimbangkannya saja aku malas, apalagi menjalankannya. Bagaimana tidak, karena pilihan mamahku lah yang memaksaku untuk menghapus sederet daftar liburan yang aku pikir akan melemparkan segala kejenuhan.
            Pagi yang cerah, tapi tak secerah perasaanku. Hari ini waktunya aku berangkat ke rumah nenek dengan hati yang masih berat. Sulitnya menciptakan senyuman, setidaknya senyuman palsu untuk ku tunjukkan kalau aku senang berlibur di desa, walaupun sebenarnya sih tidak. Aku kemas barang-barang yang akan ku bawa, aku pun berangkat.
            Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, aku pun tiba. Pemandangan yang indah dengan rerimbunan pohon dan suasana desa yang asri nan elok membuatku berpikir kembali kalau ini tidak seburuk yang aku bayangkan. Kalau saja Aji ada di sini, liburanku bukan hanya menyenangkan, tapi bahkan jadi lebih berwarna. Aji adalah seseorang yang saat ini istimewa bagiku. Seseorang yang bisa membuatku tersenyum, sekalipun disaat senyum itu sulit untuk terlukiskan.


            Esoknya aku diajak keponakanku untuk pergi ke sawah. Bisa dibilang aku bersemangat akan ini. Saat di kota , aku jarang sekali atau mungkin tidak pernah ke sawah. Bagaimana aku ingin pergi ke sawah kalau di kota saja jarang ada sawah. Karena saking semangatnya, aku berjalan sangat cepat dengan tatapan yang tidak selalu mengarah ke depan. Tiba-tiba “duk”, entah aku ditabrak atau menabrak seseorang, lalu terjatuh. “Eh, kalo jalan tuh liat-liat dong! Lo mau cari masalah sama gue?!”, bentaknya. Apa-apaan dia berkata seperti itu padaku? Jelas-jelas ini salahnya. Tapi, tunggu dulu. Hah, apa? Itu kan Andre. Andre adalah teman kecilku. Aku memang sempat tinggal di sini ketika duduk dibangku sekolah dasar. Jika teringat masa kecilku dengannya, aku jadi senyum-senyum sendiri. Tapi, sejak bertemu dengannya lagi hari ini dengan sikapnya yang seperti itu membuat aku ingin menarik kata-kataku yang berbunyi: “Jika teringat masa kecilku dengannya, aku jadi senyum-senyum sendiri.”, malah aku jadi mual dan ingin muntah. “Ya ampun nyadar diri dong! Lo kali yang jalan ga liat-liat!”, balasku. “Oh, jadi lo Vir? Emang susah sih kalo ngomong sama anak kecil! Udah tau salah masih aja ga mau disalahin”, ucapnya. Aku anak kecil? Yang benar saja! Aku pergi tanpa menghiraukannya.
            Menyebalkan sekali! Memangnya dia siapa? Seenaknya saja menyalahkan orang! Kelakuannya tadi membuatku jadi terus menggerutu. Orang yang tidak bersalah pun jadi terkena semprotan yang seharusnya tidak keluar tanpa alasan. Malam mulai larut. Tapi, kekesalanku belum juga larut. Beningnya air, beningnya perasaanku. Kenapa juga harus keruh? Kalau terus emosi, hati dan perasaanku mungkin jadi keruh. Kalau perasaanku keruh, wajah bisa saja jadi ikutan keruh. Males banget!
            Memancing ikan ternyata cukup menguras kesabaran. Aku akui memang tidak ahli dalam hal ini. Walaupun siang ini cukup panas, tetapi sepertinya tidak menyurutkan rasa penasaranku untuk mendapatkan ikan, setidaknya satu saja sudah cukup. Aku merasa bukan cuaca siang ini saja yang panas. Tapi, hatiku pun jadi panas setelah datangnya seseorang yang sepertinya tidak senang jika tidak menghinaku. “Hah mana bisa cewek kaya lo mancing! Mancing juga pake otak kali…”, ejek Andre. Ergh kurasa munculnya dia dihadapanku hanya untuk satu tujuan yang tidak lain adalah untuk mengejekku. Kalau sudah seperti ini jadinya, aku bahkan bisa naik darah. “Ish, peduli gitu gue sama omongan lo? Bodo amat!”, balasku tidak mau kalah. Apalagi kalau sambil makan cabai, akan terasa semakin pedas. “Oya? Masa? Cewek kaya lo tuh jangankan mancing, masak mie aja belum tentu bisa.”, dia menghinaku. Meladeninya membuat wajahku jadi kusut, perasaanku pun jadi ingin terus marah-marah. Tapi jika diam saja, ini akan menjadi lebih buruk untukku. “Eh, sok tau banget lo! Whatever deh lo mau ngomong apa!”, kataku.
Berlama-lama di tempat Andre berada hanya akan mengundang perang. Pergi meninggalkannya, setidaknya bisa sedikit menormalkan perasaanku secara perlahan walaupun masih ada sedikit percikan api yang sewaktu-waktu akan membara kembali. Suasana di desa memang mendukung untuk dijadikannya masuk ke dalam kategori “liburan yang menyenangkan”. Setidaknya terasa biasa saja pun tidak masalah. Tapi, ini malah jadi suram.
Hari mulai berganti. Matahari yang bersinar dengan paras indahnya dan langit yang cerah menambah semangat seseorang dalam menjalankan aktivitasnya. Seperti aku yang semangat untuk berolahraga. Tidak sedikitnya masalah yang muncul membuat batinku jadi tertekan. Bisa melupakannya sejenak saja, itu sudah cukup bagiku. Karena itulah aku berlari dengan pikiran yang terus kacau. Sampai menyebrang saja, aku tidak menyadari kalau ada mobil yang sedang melaju dengan cepat. Tapi, seseorang telah menyelamatkanku. “Lo itu kenapa sih? Lo ga sadar ya kalo tingkah lo itu ngerepotin orang tau ga!”, Andre memarahiku. Bahkan saat Andre menyelamatkanku pun, sikapnya selalu saja menyakitkan. “Denger ya, dalam hidup itu ada banyak pilihan. Saat lo mau menyelamatkan seseorang pun lo bisa milih mau melakukannya atau engga. Dan kalo lo merasa direpotkan akan itu, mending lo ga usah melakukannya.” kataku sambil pergi meninggalkannya. “Lo ga tau cara berterima kasih? apa emang ga pernah diajarin? Lagian gue itu ga butuh nasehat lo.”, ucap Andre. “Terima kasih.”, kataku, lalu pergi.
Liburan yang menguras emosi. Setiap habis melihatnya, aku jadi sulit untuk ramah pada orang lain. Jika harus berlebihan, wajahku pun jadi lebih sangar, terlebih ketika sedang bertemu dengannya. Walaupun begitu, ada Aji yang selalu membuatku merasa tenang. Herannya, pertemuan itu malah sering terjadi. Entah kenapa, tapi aku merasa akan ada sesuatu yang buruk terjadi.
Ini takdir atau apa? Tidak sekali atau dua kali saja aku dipertemukan dengan Andre untuk bertengkar, sekalipun di tempat umum. Dan itu sangat memalukan. Aku pergi ke supermarket terdekat untuk membeli sedikit makanan ringan dan minuman. Ku lihat Andre di situ. Akan terasa aneh jika kita bertemu tanpa masalah. “Dih ngapain lo ada di sini?”, tanya Andre. “Apa perlu seseorang bertanya untuk apa dirinya berada di supermarket? Kalo nanya yang berbobot dikit kek!”, celotehku. “Yayaya. Mau lo ngomong ini kek apa kek, percuma. Lagipula lo kan bukan cewe berkelas.”, itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya dengan wajah yang sedang mengajak bertengkar. “Tidak peduli seberapa rendahnya seseorang, setidaknya dia layak untuk dicintai.”, kataku, lalu pergi meniggalkannya.

            Langit yang mendung, udara yang sejuk membuatku malas untuk bangun tidur. Sampai-sampai nenek kesal dengan sifatku yang seperti ini. Sedari tadi suara nenek yang menyerukan agar aku cepat bangun terus terdengar. Aku paksakan untuk segera bangkit dari kamar tidur dengan kondisi mata yang masih “merem melek”. Kalau saja nenek tidak memintaku untuk menemaninya ke pasar, aku malas sekali untuk keluar rumah. Jika ditanya kenapa, Andre lah alasannya.

To be continue....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar